“Sudah nduk.
Anggap aja dia bukan jodohmu!. Dari kelima anak Bapak, cuman kamu yang susah
cari hari. Yang geblaknya mbah anu lah, mbah yang itulah”. Katanya laki-laki
yang sudah merenta itu dengan tegas, juga keras. Membuatku tertunduk
lemas.
Butiran kristal
putih itu turun satu-persatu dari pelupuk mataku.
Malam ini adalah
kunjungan ketiga Mas Eko, calon suamiku dan rombongannya untuk menentukan hari.
Kunjungan pertama,
atau “nothok lawang” dalam istilah kami sudah dilakukan satu bulan sebelumnya.
Malam sesudah isya, Mas Eko dan keluarganya datang mengajukan lamaran.
Menanyakan status dan kesediaanku untuk menerima pinangan lelaki yang kukenal
belum lebih dari satu tahun itu. Ayah, Ibu dan keluargaku menyambut baik
kedatangan keluarga Mas Eko, meski hari sebelumnya, Bapak sempat menanyaiku : “Apa
tidak kecepetan to nduk kamu menikah?. Umurmu masih 25 tahun,lo. Apa gak pengen
cari yang sudah lebih mapan, punya pekerjaan tetap?.” Kata beliau seolah masih
enggan melepas putri bungsunya ini.
Aku paham maksud
Bapak. Sebagai anak bungsu, embel-embel “manja” masih sangat melekat padaku.
Dan soal jodoh, aku tahu kalau beliau ingin aku menikah dengan anak-anak
temannya yang “katanya” anak kiai itu. Daridulu bapak dan ibuku selalu
membanggakan teman-temannya yang punya anak bekerja di salah satu Departemen
yang sama dengan mereka. Yang bapaknya sudah haji dan sudah jelas bibit, bebet,
bobotnya. Masih satu garis dengan keturunan kiai ini, itu, anu yang pokoknya
sudah kondang di daerahnya masing-masing.
Sebenarnya aku
mengerti. Cuman soal jodoh, aku tidak ingin seolah menentukan takdirku. Karena
aku sendiri tidak mengerti kriteria jodoh seperti apa yang aku ingini. Yang
penting cuman satu, bapak ibuku memberi restu. Itu saja. Untuk kriteria, selama
dia seagama, sayang dan setia aku akan menerimanya.
Selama ini, aku
juga selalu gambling soal jodoh. Karna aku percaya, jodoh sudah dituliskanNYA
dari sejak aku belum lahir kedunia. Maka kubiarkan jodohku yang akan menemukan
jalannya. Aku juga tak perduli cinta. Karena aku bukan orang yang gampang jatuh
cinta. Bagiku, cinta selalu butuh proses dalam waktu yang berjangka. Baik lama
maupun tidak lama.
Aku ingat betul,
bagaimana ketika sebelum Mas Eko, ada beberapa pria yang jadi “korban”
gamblingku. Seorang berpangkat tentara yang hendak menghampiriku untuk
mendampinginya di acara wisuda bersama segenap keluarga besarnya terhalang
datang karena mobil yang ditumpangi
tiba-tiba ban’nya kempes dan membuat mereka terlambat menghadiri
acara,sehingga tidak jadi menjemputku yang sudah rapi dan bersiap didepan kos
hampir dua jam lamanya. Juga seorang teman intel yang “rela” datang jauh-jauh
dari Jakarta untuk menemuiku dan menyatakan pinangannya, tetapi entah mengapa
jadwalku yang seperti dibuat “sibuk” oleh-NYA sehingga tak sedetikpun kami
“diijinkan” untuk bertemu.
Jadi menurutku,
kenapa harus ragu dengan apa yang digariskanNYA? Semua selalu punya jodoh yang
akan datang di waktu terbaikNYA. Dan itu pasti sebaik-baiknya jodoh, selama
kita memintanya dengan sesungguh-sungguhnya do’a.
Dan akhirnya, Mas
Ekolah pria yang tuhan kirim untukku.
Awal pertemuanku
dengan Mas Eko terjadi setelah beberapa hari sebelumnya aku menerima sms bahwa
dia akan main kerumah. Aku punya banyak teman pria yang bernama Eko. Jadi
kupikir hanya seorang teman yang sedang iseng mengerjaiku lewat sms. Pun ktika
kutanya eko yang mana, dia hanya menjawab kalau dia adalah tetanggaku. Sms-sms
pun berlanjut. Akhirnya kamipun berjanjian untuk bertemu. Tanpa sengaja, hari
yang sudah kita tentukan adalah hari dimana malam sebelumnya aku putus dari
pacarku. (Pacar pilihan ibuku, tepatnya. Pacar yang kusetujui karena kata
ibuku, dari sekian banyak teman pria yang datang kerumah, dia yang sholatnya
paling betul gerakannya). Dan dari kalimat itulah, aku jadi tahu kalau selama
ini, diam-diam ibuku mengamati setiap teman pria yang main kerumahku. (Ya
hitung-hitung semacam seleksi alam ala buat ibuku, mungkin)
Ketika Mas Eko datang, aku sudah rapi karena
akan pergi reuni kerumah teman segank-ku jaman SMA. Akhirnya, kamipun pergi
berdua dengan motor masing-masing. (Karena Bapakku tidak pernah mengijinkanku
untuk berboncengan dengan lawan jenis selain saudara atau orang-orang yang
dikenalnya).
Tanpa sengaja dan
tidak dinyana-nyana, ditempat reuni aku bertemu dengan sang “intel” yang
sedianya akan menemui dan meminangku dulu itu. Agak canggung kami bersalaman
juga bertegur sapa. Untung ada banyak orang disitu, jadi bisa bebas ngobrol dengan siapa saja. Tak
lupa aku mengenalkan juga Mas Eko kepadanya dan teman-temanku.
Pertemuan itu
seperti sebuah pembuktian bahwa gambling jodohku berlaku. Tuhan takan
memberikan orang yang memang bukan jodohku. Bukankah itu juga takdir terbaikNYA?
semua seperti sebuah adegan film yang sedang diskenariokan. Film yang dibuat
oleh sehebat-hebatnya sutradara.
Sehari setelah
acara reuni itu, aku mendengar dari temanku kalau sang intel mengirimkan salam
untukku dan juga do’a agar aku segera menikah dan berbahagia selalu dengan Mas
Eko. Dalam hati geli sendiri. Karna saat itu aku belum punya hubungan apa-apa
dengan Mas Eko, semuanya masih resmi bertitelkan “teman”.
***
Pertemuan pertama dengan
Mas Eko pun akhirnya berlanjut hingga minggu-minggu berikutnya. Hingga
akhirnya, suatu hari dia menyatakan keinginannya untuk jadi pacarku. Tapi
seperti yang selalu aku bilang pada setiap pria yang mendekatiku, aku berkata
kalau aku tidak ingin pacaran. Kalau memang serius, aku ingin dia langsung
melamarku dihadapan orangtuaku. Mas Ekopun setuju. Dia bilang ingin langsung
menemui orangtuaku.
Satu sore di bulan
Desember akhirnya keinginan Mas eko terkabul. Bapak dan Ibu yang mendengar kesungguhannya
mengajukan “proposal lamaran” mas Eko, mengiyakan. Mereka bahkan menanyakan
kepastian tanggal kedatangan orangtuanya dengan maksud agar Bapak bisa mengumpulkan
anak-anaknya dihari lamaran tiba. Maklum, selain aku sebagai anak bungsu
kesayangan juga keluarga kami adalah keluarga besar. Ada lima orang anak Bapak.
Kesemuanya sudah berumah tangga dan tinggal di luarkota. Maka berita inipun
akan jadi hal yang penting dalam keluarga kami. Berita yang paling
ditunggu-tunggu oleh semua kakakku. Berita bahagia bahwa adik kesayangan mereka
akan dilamar seorang pria. Dan adalah Ibu, orang yang paling bahagia mendengar
kabar itu. Beliau bahkan sudah request kalo hari pernikahanku nanti harus jauh
hari sebelum pensiunnya tiba. Ibu ingin mengumpulkan semua teman-temannya
sekaligus sebagai acara perpisahan sebelum pensiun, katanya. Aku hanya
mengangguk dan tersenyum mendengarkan permintaan beliau sembari mengamini dalam
hati.
***
Beberapa hari
setelah request mas eko diterima, bulan Januari dia harus bertolak ke Manado,
untuk memenuhi tanggung jawabnya. Iya, calon suamiku itu bekerja disebuah
perusahaan telekomunikasi yang menempatkannya disana untuk 5 bulan. Ketika pamit
hendak berangkat ke Manado, ibuku ternyata sudah menyiapkan sebuah kado untuk
“calon mantu”nya itu. Sebuah Al-qur’an kecil dengan sampul warna keemasan.
Entah apa maksudnya. Ibu hanya tersenyum simpul ketika kutanya.
Menjalani LDR masa
pacaran ternyata berat juga. LDR adalah hal yang paling kubenci. Padahal, dulu
kalau lihat teman-teman pacaran pakai acara LDR selalu kuolok. Eh, ternyata
pepatah jawa “gething,nyandhing” (bersanding dengan hal yang justru kita benci)
berlaku di aku. Untungnya jaman itu sudah ada sms dan telepon meski
kecanggihannya masih kurang dibandingkan jaman sekarang. Jadi komunikasipun
masih selalu bisa dilakukan.
Akhirnya bulan Mei
pun tiba. Tepatnya tanggal 5 Mei 2008, keluarga Mas eko melakukan kunjungan
pertama mereka. Meski baru pertama kali bertemu, kedua keluarga sudah tampak
begitu akrab seperti sudah jadi keluarga
sendiri. Semuanya berjalan dengan sangat
lancar hingga saat kunjungan balik dari keluarga kami kesana. Saat itu, Bapak
tidak ikut karena badannya yang mulai merenta tidak bisa membuatnya pergi dan
berkendara agak jauh dari rumah.
Setelah
berbasa-basi sejenak, kedua keluargapun membahas soal tanggal pernikahan. Dan ternyata
tanggal yang ditentukan Bapakku, ditolak oleh keluarga Mas Eko, karena bertepatan
dengan “geblak” atau hari na’as (hari yang sama dengan kematian salah satu
sesepuh atau keluarga dekat keluarga mereka). Sesampainya dirumah, Bapak tampak marah ketika
tanggal permintaanya itu ditolak. Wajahnya memerah. Nafasnya mulai tampak
terengah.
Aku menyampaikan
keberatan Bapakku pada calon suamiku. Akhirnya, keluarga Mas Ekopun mengalah.
Mereka melakukan kunjungan keluarga yang kedua.
Keluarga Mas Eko yang mendatangi rumah kami untuk memberi tanggal yang
baru. Tapi ternyata Bapakku tetap
bersikukuh dengan tanggal yang sudah ditentukannya dari sejak pertama. Akhirnya,
rombonganpun pulang dengan tangan hampa.
Rasanya ingin
menangis saja. Semua tanggal selalu berbenturan dengan peringatan hari naas di
keluarga pria, sedang di keluargaku, Bapak masih saja bersikukuh dengan tanggal
yang ditentukannya.
Kunjungan ketiga, aku
dan suamiku yang merencanakan. Tanggal pernikahan diambil bersamaan dengan peringatan hari ulang
tahunku. Keluarga besar Mas eko sudah menyepakati karana kebetulan tanggal itu
tidak bertepatan dengan tanggal naas di keluarga mereka. Kedua orangtuaku pun
memberi restu. Alasan ingin merayakan hari ulangtahun sekaligus pernikahan
lebih bisa diterima bapakku yang emang terkadang suka kumat “alot”nya itu. Ah, senang bercampur haru sekali rasanya. Semua
orang tampak menarik nafas lega. Ada yang bahkan sampai berkaca-kaca. Pertemuan
yang sebelumnya tampak sedikit canggung itu langsung melumer. Hatiku berbunga.
Akhirnya hari nikahku jadi juga, setelah begitu panjang dan lama proses
penentuannya. Rombongan keluarga Mas Eko pun kembali ke rumah dengan wajah
sumringah. Tinggal mas eko sendiri yang emang “jatahnya” mengapeliku di malam
minggu.
Beberapa menit
kemudian, ibuku baru teringat kalau
tetangga sebelah juga akan menikah di bulan yang sama. Untuk memastikan, beliaupun
bergegas kesana untuk menanyakan. Dan ternyata oh ternyata, tanggal yang kami
inginkan sama. Tetangga sebelah bahkan sudah menyewa gedung yang sedianya akan
kami tempati untuk pernikahan kami. Wedding organizer yang dipilihpun sama.
Mendengar kabar
itu, Bapak langsung meradang. Berulang
kali pegang kepala. “Kalo tanggal itu tidak bisa, berarti ya tidak bisa. Ini
benar-benar memusingkan!” katanya. Seperti tahu diri. Calon suamiku pamit pulang.
Ibu hanya mengelus
rambutku, setengah terisak aku mendengar beliau berkata : “ Owalah, mesakke
men, Nduk. Nasibmu.” Berulang kali pula beliau menyeka air matanya, bersahutan
dengan isak tangisku sendiri.
“Seumur hidup
Bapak jadi penghulu. Tiap kali ada yang bercerai, Bapak selalu nanya : “Apa
dulu, sebelum menikah tidak dihitung dulu ? weton dan tetek bengeknya itu?.
Semua menjawab “Sudah.” Lalu, kenapa masih bercerai?. Dalam kamus Bapak, semua
hari itu baik. Lawong yang bikin hari itu Gusti Alloh,je. La kalau mbahnya ada
6, meninggalnya dihari yang berbeda semua. Lak yo, jadi geblak semua to? Jadi hari na’as semua?.” Sanggahnya dalam
serentetan kata tanya.
“Lalu, kalo calon
suami dan keluarganya mau menerimamu.
Mengapa harus percaya dengan geblak ini, geblak itu?” Kata bapakku sambil
terengah, menahan rasa yang “mungkin” sedang berkecamuk dan membuncah di dada
dan pikirannya.
Aku tak mau tahu. Kesedihanku
sudah terlalu memuncak. Tangis itu terus menderu hingga berlalunya waktu dan membuatku
tertidur dipangkuan ibuku.
Keesokan harinya,
sosok calon suamiku bersama Ayahnya tiba-tiba datang kerumah. Berdua. Tanpa didampingi
rombongan keluarga besar seperti
malam sebelumnya.
Bapakku memberi isyarat
agar aku membiarkan mereka berbicara delapan mata. Ya. Cuman empat orang! Tanpa
aku. Hanya Bapak, ibu, calon suamiku dan bapaknya.
Aku menebalkan
telinga dari balik daun pintu. Entah apa yang mereka perbincangkan. Dan sayup-sayup aku mendengar suara yang dikeras-keraskan
dengan sedikit bergetar:
“ Njih, Pak. Saya
bersedia mengikuti hari yang sudah Bapak tentukan. Saya, Ibunya Eko, Eko, dan
adiknya yang akan menanggung semua apabila terjadi sesuatu jika pernikahan yg
diadakan bertepatan dengan “geblak” di keluarga kami.”
“Jadi bapak
setuju? Kalo begitu, berarti pernikahan ini jadi diadakan. Saya menerima
pinangan Mas Eko, anak bapak.” Suara serau Bapakku kali ini begitu terdengar
merdu. Jauh sekali dari kata-kata amarahnya tadi malam.
Tangisku kembali
mengguncang. Tangis yang berbeda dari tangis-tangisku sebelumya. Tangis bahagia
pengganti senyum yang mengembang. Lebar.
Tiba-tiba pintu
ruang tamu terbuka. Ibu langsung menyambutku dengan pelukan. Sambil menangis,
beliau menciumiku. Aku tahu ibu pasti tak kalah bahagianya denganku. Aku
menciumi tangannya. “Iya, ibu dan bapak sudah merestui kalian.” Kata ibu,
seolah mengerti kata apa yang hendak kuucapkan.
“Bapak..Bapak
tidak marah’kan?” tanyaku kepada Bapak penuh tanya. Bapak tampak menggeleng.
Aku meraih tangan Bapak dan menempelkannya di dahiku. “Kalo begitu, aku minta
doa dan restunya ya, Pak.” Anggukan kepalanya sudah berarti menegaskan.
Calon suamikupun mendekat. Sambil mengelus
rambutku, dia bilang : “Kalau ada apa-apa jangan menyerah duluan. Jangan
menangis duluan.” Kuseka airmataku dengan tersipu.
"Ah, ada yang kutahu sekarang.
Bahkan jodohpun, harus selalu diusahakan. Karna letaknya bisa jadi ada di ujung pangkal usaha kita.
Purwodadi, 4
September 2016.
(Artikel ini diikutsertakan dalam lomba kumpulan "ANTOLOGI JODOH" di fb Dwi Suwiknyo)
No comments:
Post a Comment
Mohon berkomentar dengan baik ya. Terimakasih.